Oleh : Marco Umbas
Pengamat Penerbangan
Polemik laporan keuangan Garuda Indonesia Tbk, yang ditolak oleh dua anggota komisaris dari CT Corp pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tanggal 24 April 2029 merupakan keniscayaan.
Kondisi tersebut dapat dilihat sebagai fenomena ‘gunung es’ akibat dari perbedaan kepentingan antara pemegang saham.
Sebelum RUPS, komisaris sebenarnya telah mengemukakan opini terhadap laporan keuangan tersebut. Sayangnya jalan tengah tidak tercapai sehingga berlanjut pada dissenting opinion dua anggota komisaris pada saat RUPS.
Seperti dalam teori konflik disebutkan: bringing these distinct groups together to reach agreement may not always be possible, so business decisions must consider each point of view and optimize the decision-making to include all voices.
Secara natural bahwa antara pemegang saham memang terdapat perbedaan kepentingan apalagi antara pemerintah dan swasta.
Kepentingan pemerintah melalui Kementrian BUMN bahwa target Garuda adalah mendapatkan keuntungan dan membayar pajak kepada pemerintah.
Kepentingan CT Corp, apabila Garuda rugi konsekuensinya tidak membayar pajak dan pembayaran pajak penghasilan kepada negara secara bertahap sesuai term pembayaran pihak ketiga, sehingga cash outflow tersebut dapat dipergunakan untuk memperbaiki kinerja keuangan Garuda.
Pengakuan Piutang sebagai Pendapatan Sekarang Meskipun laporan keuangan Garuda telah diaudit oleh KAP Tunubrata Sutanto, Fahmi Bambang & rekan (member BDO International), permasalahan utama adalah pengakuan piutang menjadi pendapatan perusahaan tahun 2018.
Piutang yang dimaksud berasal dari kontrak kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi untuk pemasangan layanan konektivitas (WiFi) dan hiburan pesawat. Nilai kontrak yang ditandatangani Desember 2018 itu mencapai US$ 239,94 juta.
Seharusnya tidak semua piutang bisa dicatat sebagai pendapatan khususnya dari penjualan jasa. Piutang itu harus jelas kontrak pembayaran dan penagihannya.
Kenyataannya berdasarkan standard akuntansi Indonesia, PSAK 23 mengijinkan piutang dikategorisasi sebagai pendapatan meskipun uangnya belum diterima, namun demikian dua komisaris keberatan dengan metode pelaporan tersebut.
Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas yang menentukan pengambilan keputusan, dalam hal ini mendukung langkah perusahaan tersebut dalam rangka perbaikan perusahaan secara keseluruhan.
Sedangkan CT Corp tidak setuju dengan langkah itu karena dapat menyulitkan perusahaan dalam jangka panjang.
Meskipun terdapat perbedaan diatas, reaksi capital market cenderung wait and see dimana saham GIAA relative aman pada level 470
Dalam pengelolaan korporasi perbedaan persepsi merupakan hal yang sangat biasa, apalagi masing-masing pemegang saham mempunyai asumsi dan kepentingan sendiri.
Untuk itu diharapkan, pihak yang independent segera melakukan assessment dan memberi rekomendasi agar sesuai dengan standar-standar pengeloaan korporasi yang disepakati bersama,untuk menjadi pelajaran dimasa mendatang.
Dengan demikian Direksi Garuda dapat kembali bekerja mengingat persaingan makin tajam khususnya di rute-rute internasional, optimalisasi bisnis kargo, program efisiensi dengan basis Airline Business Process karena harga minyak pada level US$ 70 yang relative tinggi dan nilai tukar dolar masih pada level Rp14.000.
Badai Pasti Berlalu! Maju terus Garuda….